Matahari
mulai menunjukkan aksinya. Ditemani deru kendaraan yang hilir mudik membuat
ramai pagi, aku termenung seorang diri. Menanti suatu hal yang membuatku harus
sedikit bersabar karena ia tak kunjung datang. “jalur 7, Neng ?” teriakan khas
sang kernet membuyarkan lamunanku atas keterlambatannya. Akhirnya, yang kunanti
sedari tadi muncul juga. Yah, bus jalur 7 yang akan mengantarkanku pada tempat
baruku nanti, semoga dalam waktu yang tak lebih dari 4 tahun ini.
Segera
kulangkahkan kakiku naik dan mencari tempat strategis untuk menikmati
keramaian jalan yang hingga saat ini masih didominasi oleh kendaraan pribadi. ”
Aneh, kalau mereka tak mau bermacet-macetan harusnya berangkat lebih pagi dong!
Pake perang klakson lagi, tambah polusi aja!” Batinku ikut berkomentar. Sekilas
pandanganku tertuju pada penjaja koran yang sedang sibuk berpromosi. Maklum,
saat-saat lampu merah adalah waktu yang cocok untuk menggali ladang penghasilan
mereka. Alhasil, pandangan kami beradu. “koran mba? Banyak berita terdepan
terpercaya loh, ketinggalan kabar ntar kalo ngga beli” Rayuan khas
pedagang. Yah..mau tak mau aku harus membeli yang dijajakanna itu.
“Makasih mba.. ini kembaliannya” katanya sopan sembari pergi untuk kembai menawarkan
pada yang lain. Tak apa lah, buat temen di bis biar nggak ngantuk . o.o
Sambutan
hangat teman baruku memecah kesepianku sejak tadi pagi. “Gak tidur
di bis kan, Na?” Celetuk Ida, maba dari jurusan fisika, diiringi tawa renyah
yang lain. Yah, gara-gara kemarin aku ketiduran saat mengerjakan tugas kelompok
untuk ospek langsung deh label “tidur” melekat erat di jidatku. “Haasem, kalian
bisa aja. Gimana udah selese semua po? Aku tinggal mbawa pulang aja nih!”
tanyaku meledek. “Huuw.. tuh dibawa pulang aja semuanya,ntar nyampe sini udah
tinggal pake. Haha “ Umpan balik Gito membuatku ingin cepat-cepat bergabung
dengan mereka agar semua perlengkapan ospek cepat kelar dan bisa beristirahat
melepas penat. Seminggu ini, kami sekelompok Neurokimia memang sudah mulai
sibuk mempersiapkan ospek Mulai dari tugas kelompok hingga individu kami
kerjakan bersama, tujuannya sih biar kalo aada yang nggak bisa saling mmembantu
satu sama lain. Kami enjoy, meskipun merasa agak “berat”. Sapa juga yang seneng
kalo tiap masuk jenjang baru pendidikan harus dihadapkkan pada serentet
penugasan yang hingga kini belum kami pahami betul apa maksudya. “Pulang dulu
yaah, sampai jumpa di ospek hari pertama kawan!” Rendy yang asli
kalimantan mencoba berbahasa indonesia-yang-baik-dan-benar.
Waktu
memang berjalan cepat jika kita menikmatinya. Tak sampai jam 2 siang, semua
penugasan kami kelar dan it’s time to go home! Tidak sepenuhnya berarti rumah
sii, karena di sini aku kost berhubung jarak rumahku yang jauh di seberang kota
sana. Karena kost-ku lumayan jauh, bus adalah alternatif yang paling efektif.
“Eeh neng
yang tadi pagi. Kalo jodoh emang ngga kemana yaah? Ayo cepet
naik, Neng” gombal sang kernet. “Hiih, apaan si. Yang ada tuh bete ketemu
ma kernet ini lagi. Coba kalo kernetnya kayak lee min ho tiap saat sih aku mau
aja naik bus, la kalo yang ini?” Gerutuku terbawa emosi sang surya yang kian
naik pula. Tapi, segera kutepis kedongkolanku ini, dan kurapikan posisi di
bangku pojok belakang, tempat favoritku bila di kendaraan.
Sesaat
bayangannku kembali pada masa kemsrin, saat putih abu-abu masih menjadi
seragamku. Rentetan kenangan terputar jelas dalam bingkai memoriku. Tak terasa,
butiran kecil menetes dari pelupuk mataku. Aku merindukan kalian, yang telah
membuat hidupku lebih berwarna di masa itu, membuatku tahu makna arti cinta
,persahabatan ,dan kehidupan. Yakinlah Dina, perpisahan bukanlah akhir. Tapi
justru awal dari sebuah keabadian bila ia memang benar-benar ada. Hiburku pada
diriku sendiri.
Di
tengah-tengah nostalgia-ku, terlintas fikiran yang entah akupun tak tahu dari
mana datangnya. “Kamu anak baru di sini kok belum pernah kesasar yaah? Padahal
dulu pas pertama kenal dunia kos sampai tak terhitung berapa kali
‘kesesatan’ jalan menjadi teman akrabmu.” “iyaa yah? Kok aku baru nyadar ?” aku
seperti orang tolol, serasa dua sisi kepribadianku beradu tanpa aku mampu
mengendalikannya. “Ngga asik banget tau, Na. Masa di lingkungan baru hidupmu
stagnan-stagnan aja, harus ada pengalaman yang bisa bikin naik turun, kek Bosan
aku ngeliat gini-gini aja” Satu sisi diriku memprovokasi penuh semangat. “Aduh,
Na. Ya kalo pengalaman itu baik, orang pengalaman tersesat kok mau dibikin
kewajiban? Gak usah deh, ngga usah pengen, titik!” Satu sisi yang lain
membantah tegas. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yangpanjang, aku memilih
yang pertama. Aku ingin tersesat. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?
Fikirku menduung. Eh, tapi gimana caranya? Masa kesesat dibuat-buat? Konyol
memang! Ah.. aku jadi bingung denganku sendiri. Dan kebingungan pun
mengantarkanku pada satu fase istirahat paling nikmat : tidur.
Sedikit
asing saat aku membuka mata. Plang-plang jalan yang tak pernah kujumpai
sebelumnya. Karena masih setengah sadar, kuabaikan saja keterasingan itu.
Hingga beberapa menit kemudian, aku baru sadar bahwa tidur menguaisaiku. “Ini
busnya yang emang jalannya lama ato aku yang trlalu lama tidur? Tapi kayaknya
emang belum nyampe, deh. Kalo udah, pasti kernetnya mbangunin aku, kan dia tau
aku turun dimana.” Yah, sedikit penenang lah, meskipun dalam hati agak
takut-takut juga kalo beneran keblabasan.
Waktu
semakin berlalu, aku pun tak kunjung menemukan tempat turun ke kost-ku.
Kegelisahan mulai menguasaiku, hingga.. “Yok yang turun terminal,
turunnya di sinin aja, bisnya mau langsung ke Wates ngga masuk terminl dulu.
Yaa.. silakan silakan” Kata sang kernet pada sepasang suami istri yang henak
turun bus. “ Apaa? Terminal?? Pantes aja jalan ke kost ngga nemu-nemu!”
Kecewaku. Segera kuhampiri sang kernet untuk menanyakan kenapa aku sampai
keblabasan, harusnya kan kalaupun aku tidur ia membangunkankuu. Tapi, sebelum
sempat aku menumpahkan pelampiasan amarahku padanya, dengan enteng ia bertanya.
“Lho kok Neng sampe terminal? Mau mudik to?” tanpa menunggu jawaban, segera ia
cap cus dengan bus yang katanya hendak menuju Wates. Aku?? Sendiri lagi tak tau
kemana. Huhu
“Tadi
kernetnya bilang ini terminal apa yah. Tapi mana terminalnya? Adanya kok malah
perempatan besar kayak gini?” Selidikku. Ah.. ngga mungkin bohong kayaknya deh.
Aku tunggu aja di nsini, mungkin aja bus jalur7 yang arah kebalikan cepet
dateng. Lagi-lagi, aku menenangkan diri sendiri.
Setelah
sekian lama aku menunggu, bus bernomor 7 tak kunjung datang. Hanya nomor
2, 6, 15, dan bus AKAP yang mendominasi pandanganku. Sedikit putus asa memang.
Jangan-jangan ini do’aku tadi yang pengen tersesat yaah? Aduhaduh, Tuhan kok
dikabulin sih? Aku kan Cuma bercanda.. masa ada orang yang kepengin
tersesat juga? Huft, protes skarang tak berpengaruh juga. Yang penting, sekarang
cari jalan keluar biar bisa pulang. Angka 4! Yah, aku pernah melihat bus
itu melewati supermarket deket kost-ku. Ahaaa1 akhirmya jalan itu terbuka juga.
Segera kulambaikan tangan tanda menyetop. Tapi tak ada respon dari bus, ia
tetap melaju seolah-olah tak melihatku. Dan hal itu berulang hingga 4 kali! Apa
karena tak bolen menyetop bus di jalan besar seperti ini? Oke, aku pindah
posisi mencari tempat yang lebih strategis. Tapi, hasilnya sama. Nihil.
Teman kost-ku juga kebetulan sedang ada acara di kampus yang tak bisa ia
tinggalkan. Yah.. aku memang harus berdiri sendiri melawan gelombang ini.
Hingga saat
putus asaku memuncak, ada bus jalur 4 tertangkap retina mataku. Iseng
kulambaikan saja tanganku, toh kalau memanng tak bisa ppulang, aku tunnggu
temanku sampai sellesai acara-mungkin maghrib. Dompetku yang hanya bersisa uang
kertas cap pahlawan berjenggot tak memungkinkan untuk naik kendaraan umum lain
yang mungkn dengan cepat busa mengantarkanku ke kost. Bus itu berhenti
ternyata! Hatiku berpijar kembali setelah kegellapan menguasai dengan
tamaknya. Kujelaskan tujuanku ke sopir dan duduk di depan sendiri untuk
mengantisipasi keblabasan lagi. Bus pun belok kanan k suatu tempat yang
akhirnya kutahu bahwa itulah terminalnya. Ternyata?? Di be;lakang posisiku tadi.
Oh, malu bertanya sesat beneran memang. Tukang becak yang berjejeran tadi
kenapa tak kubiarkan mencetak sedikit pahala hany untuk menjawab kebingunganku
tentang terminal tadi? Ahh.. nasi sudah menjadi bubur. Yang penting,
skarang sampai kost titik!
Jarak dari supermarket tak sependek yang kukira ternya. Butuh sekita 25
menit waktu kaki melangkah. Sudahlah, nasib. Pasrah saja yang penting bisa
pulang. Satu pellajaran untukku : jangan pernah berdo’a yang tidak-tidak, takut
malaikat sedang berbaik hati dan ikut mengaimini yang berujung pada jawaban
“iya” dari sang Pengabul Do’a. Repot kan? Lagi-lagi do’a yang baik-baik aja
yaah J Kok dari tadi aku ngomong tapi gak
ada pihak kedua? -.-
Matahari
mulai menunjukkan aksinya. Ditemani deru kendaraan yang hilir mudik membuat
ramai pagi, aku termenung seorang diri. Menanti suatu hal yang membuatku harus
sedikit bersabar karena ia tak kunjung datang. “jalur 7, Neng ?” teriakan khas
sang kernet membuyarkan lamunanku atas keterlambatannya. Akhirnya, yang kunanti
sedari tadi muncul juga. Yah, bus jalur 7 yang akan mengantarkanku pada tempat
baruku nanti, semoga dalam waktu yang tak lebih dari 4 tahun ini.
Segera
kulangkahkan kakiku naik dan mencari tempat strategis untuk menikmati
keramaian jalan yang hingga saat ini masih didominasi oleh kendaraan pribadi. ”
Aneh, kalau mereka tak mau bermacet-macetan harusnya berangkat lebih pagi dong!
Pake perang klakson lagi, tambah polusi aja!” Batinku ikut berkomentar. Sekilas
pandanganku tertuju pada penjaja koran yang sedang sibuk berpromosi. Maklum,
saat-saat lampu merah adalah waktu yang cocok untuk menggali ladang penghasilan
mereka. Alhasil, pandangan kami beradu. “koran mba? Banyak berita terdepan
terpercaya loh, ketinggalan kabar ntar kalo ngga beli” Rayuan khas
pedagang. Yah..mau tak mau aku harus membeli yang dijajakanna itu.
“Makasih mba.. ini kembaliannya” katanya sopan sembari pergi untuk kembai menawarkan
pada yang lain. Tak apa lah, buat temen di bis biar nggak ngantuk . o.o
Sambutan
hangat teman baruku memecah kesepianku sejak tadi pagi. “Gak tidur
di bis kan, Na?” Celetuk Ida, maba dari jurusan fisika, diiringi tawa renyah
yang lain. Yah, gara-gara kemarin aku ketiduran saat mengerjakan tugas kelompok
untuk ospek langsung deh label “tidur” melekat erat di jidatku. “Haasem, kalian
bisa aja. Gimana udah selese semua po? Aku tinggal mbawa pulang aja nih!”
tanyaku meledek. “Huuw.. tuh dibawa pulang aja semuanya,ntar nyampe sini udah
tinggal pake. Haha “ Umpan balik Gito membuatku ingin cepat-cepat bergabung
dengan mereka agar semua perlengkapan ospek cepat kelar dan bisa beristirahat
melepas penat. Seminggu ini, kami sekelompok Neurokimia memang sudah mulai
sibuk mempersiapkan ospek Mulai dari tugas kelompok hingga individu kami
kerjakan bersama, tujuannya sih biar kalo aada yang nggak bisa saling mmembantu
satu sama lain. Kami enjoy, meskipun merasa agak “berat”. Sapa juga yang seneng
kalo tiap masuk jenjang baru pendidikan harus dihadapkkan pada serentet
penugasan yang hingga kini belum kami pahami betul apa maksudya. “Pulang dulu
yaah, sampai jumpa di ospek hari pertama kawan!” Rendy yang asli
kalimantan mencoba berbahasa indonesia-yang-baik-dan-benar.
Waktu
memang berjalan cepat jika kita menikmatinya. Tak sampai jam 2 siang, semua
penugasan kami kelar dan it’s time to go home! Tidak sepenuhnya berarti rumah
sii, karena di sini aku kost berhubung jarak rumahku yang jauh di seberang kota
sana. Karena kost-ku lumayan jauh, bus adalah alternatif yang paling efektif.
“Eeh neng
yang tadi pagi. Kalo jodoh emang ngga kemana yaah? Ayo cepet
naik, Neng” gombal sang kernet. “Hiih, apaan si. Yang ada tuh bete ketemu
ma kernet ini lagi. Coba kalo kernetnya kayak lee min ho tiap saat sih aku mau
aja naik bus, la kalo yang ini?” Gerutuku terbawa emosi sang surya yang kian
naik pula. Tapi, segera kutepis kedongkolanku ini, dan kurapikan posisi di
bangku pojok belakang, tempat favoritku bila di kendaraan.
Sesaat
bayangannku kembali pada masa kemsrin, saat putih abu-abu masih menjadi
seragamku. Rentetan kenangan terputar jelas dalam bingkai memoriku. Tak terasa,
butiran kecil menetes dari pelupuk mataku. Aku merindukan kalian, yang telah
membuat hidupku lebih berwarna di masa itu, membuatku tahu makna arti cinta
,persahabatan ,dan kehidupan. Yakinlah Dina, perpisahan bukanlah akhir. Tapi
justru awal dari sebuah keabadian bila ia memang benar-benar ada. Hiburku pada
diriku sendiri.
Di
tengah-tengah nostalgia-ku, terlintas fikiran yang entah akupun tak tahu dari
mana datangnya. “Kamu anak baru di sini kok belum pernah kesasar yaah? Padahal
dulu pas pertama kenal dunia kos sampai tak terhitung berapa kali
‘kesesatan’ jalan menjadi teman akrabmu.” “iyaa yah? Kok aku baru nyadar ?” aku
seperti orang tolol, serasa dua sisi kepribadianku beradu tanpa aku mampu
mengendalikannya. “Ngga asik banget tau, Na. Masa di lingkungan baru hidupmu
stagnan-stagnan aja, harus ada pengalaman yang bisa bikin naik turun, kek Bosan
aku ngeliat gini-gini aja” Satu sisi diriku memprovokasi penuh semangat. “Aduh,
Na. Ya kalo pengalaman itu baik, orang pengalaman tersesat kok mau dibikin
kewajiban? Gak usah deh, ngga usah pengen, titik!” Satu sisi yang lain
membantah tegas. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yangpanjang, aku memilih
yang pertama. Aku ingin tersesat. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?
Fikirku menduung. Eh, tapi gimana caranya? Masa kesesat dibuat-buat? Konyol
memang! Ah.. aku jadi bingung denganku sendiri. Dan kebingungan pun
mengantarkanku pada satu fase istirahat paling nikmat : tidur.
Sedikit
asing saat aku membuka mata. Plang-plang jalan yang tak pernah kujumpai
sebelumnya. Karena masih setengah sadar, kuabaikan saja keterasingan itu.
Hingga beberapa menit kemudian, aku baru sadar bahwa tidur menguaisaiku. “Ini
busnya yang emang jalannya lama ato aku yang trlalu lama tidur? Tapi kayaknya
emang belum nyampe, deh. Kalo udah, pasti kernetnya mbangunin aku, kan dia tau
aku turun dimana.” Yah, sedikit penenang lah, meskipun dalam hati agak
takut-takut juga kalo beneran keblabasan.
Waktu
semakin berlalu, aku pun tak kunjung menemukan tempat turun ke kost-ku.
Kegelisahan mulai menguasaiku, hingga.. “Yok yang turun terminal,
turunnya di sinin aja, bisnya mau langsung ke Wates ngga masuk terminl dulu.
Yaa.. silakan silakan” Kata sang kernet pada sepasang suami istri yang henak
turun bus. “ Apaa? Terminal?? Pantes aja jalan ke kost ngga nemu-nemu!”
Kecewaku. Segera kuhampiri sang kernet untuk menanyakan kenapa aku sampai
keblabasan, harusnya kan kalaupun aku tidur ia membangunkankuu. Tapi, sebelum
sempat aku menumpahkan pelampiasan amarahku padanya, dengan enteng ia bertanya.
“Lho kok Neng sampe terminal? Mau mudik to?” tanpa menunggu jawaban, segera ia
cap cus dengan bus yang katanya hendak menuju Wates. Aku?? Sendiri lagi tak tau
kemana. Huhu
“Tadi
kernetnya bilang ini terminal apa yah. Tapi mana terminalnya? Adanya kok malah
perempatan besar kayak gini?” Selidikku. Ah.. ngga mungkin bohong kayaknya deh.
Aku tunggu aja di nsini, mungkin aja bus jalur7 yang arah kebalikan cepet
dateng. Lagi-lagi, aku menenangkan diri sendiri.
Setelah
sekian lama aku menunggu, bus bernomor 7 tak kunjung datang. Hanya nomor
2, 6, 15, dan bus AKAP yang mendominasi pandanganku. Sedikit putus asa memang.
Jangan-jangan ini do’aku tadi yang pengen tersesat yaah? Aduhaduh, Tuhan kok
dikabulin sih? Aku kan Cuma bercanda.. masa ada orang yang kepengin
tersesat juga? Huft, protes skarang tak berpengaruh juga. Yang penting, sekarang
cari jalan keluar biar bisa pulang. Angka 4! Yah, aku pernah melihat bus
itu melewati supermarket deket kost-ku. Ahaaa1 akhirmya jalan itu terbuka juga.
Segera kulambaikan tangan tanda menyetop. Tapi tak ada respon dari bus, ia
tetap melaju seolah-olah tak melihatku. Dan hal itu berulang hingga 4 kali! Apa
karena tak bolen menyetop bus di jalan besar seperti ini? Oke, aku pindah
posisi mencari tempat yang lebih strategis. Tapi, hasilnya sama. Nihil.
Teman kost-ku juga kebetulan sedang ada acara di kampus yang tak bisa ia
tinggalkan. Yah.. aku memang harus berdiri sendiri melawan gelombang ini.
Hingga saat
putus asaku memuncak, ada bus jalur 4 tertangkap retina mataku. Iseng
kulambaikan saja tanganku, toh kalau memanng tak bisa ppulang, aku tunnggu
temanku sampai sellesai acara-mungkin maghrib. Dompetku yang hanya bersisa uang
kertas cap pahlawan berjenggot tak memungkinkan untuk naik kendaraan umum lain
yang mungkn dengan cepat busa mengantarkanku ke kost. Bus itu berhenti
ternyata! Hatiku berpijar kembali setelah kegellapan menguasai dengan
tamaknya. Kujelaskan tujuanku ke sopir dan duduk di depan sendiri untuk
mengantisipasi keblabasan lagi. Bus pun belok kanan k suatu tempat yang
akhirnya kutahu bahwa itulah terminalnya. Ternyata?? Di be;lakang posisiku tadi.
Oh, malu bertanya sesat beneran memang. Tukang becak yang berjejeran tadi
kenapa tak kubiarkan mencetak sedikit pahala hany untuk menjawab kebingunganku
tentang terminal tadi? Ahh.. nasi sudah menjadi bubur. Yang penting,
skarang sampai kost titik!
Jarak dari supermarket tak sependek yang kukira ternya. Butuh sekita 25
menit waktu kaki melangkah. Sudahlah, nasib. Pasrah saja yang penting bisa
pulang. Satu pellajaran untukku : jangan pernah berdo’a yang tidak-tidak, takut
malaikat sedang berbaik hati dan ikut mengaimini yang berujung pada jawaban
“iya” dari sang Pengabul Do’a. Repot kan? Lagi-lagi do’a yang baik-baik aja
yaah J Kok dari tadi aku ngomong tapi gak
ada pihak kedua? -.-