Saat dunia tak menyapamu, biarlah kau sapa dirimu sendiri. Mungkin ada
celah yang perlu ditembel, lubang yang perlu ditutup, atau hitam yang perlu
dihapus.
Mungkinkah aku terlihat sibuk dengan diriku sendiri hingga kalian terabaikan?
Bahkan di saat momen terpenting pun, aku terlihat memicingkan sebelah mata pada
kalian. Kelihatannya memang begitu, terlihat jelas jika dilihat dengan mata
telanjang..
Tapi itu hanya terlihat saja, kawan. Ah, memang kalau urusan bathin sulit
untuk membuat mereka mengerti, apalagi memahami. Aku berlaku demikian, karena
ada hal di luar itu yang lebih penting dan mendesak agar aku mampu bertahan,
mempertahankan raga dan rasaku. Tentu kalian tak tahu, kan? Ya, karena biar aku
sendiri yang menanggungnya. Karena cerita ini cukup untuk kusimpan sendiri,
kutata rapi di sudut hatiku.
Jika hati mampu manusia mampu mendhohirkan apa yang dirasakannya, mungkin
kalian baru tahu bahwa rindu itu slalu kusimpan rapi dalam melodika harianku.
Dengan indahnya ia mendendangkan ritma sendu dan harapnya. Ia bangga, telah
melewati satu episode bersama orang-orang hebat seperti kalian. Ia bahagia,
pernah mencicipi rasa damainya kebahagiaan dan kebersamaan dalam taman surga
itu.. Namun apa yang mampu kulakukan? Segala keterbatasan memenjarakanku untuk
tetap di sini, menapaki hariku dalam belenggu rindu. Hanya doa yang tulus
mengalir dari bibir yang mampu kuuntai untuk kalian, bersama sekeping harapan
akan berjumpanya sosok-sosok yang pernah membangun istana persahabatan semegah
itu. Juga jejeran huruf yang mewakili perasaanku, entah yang mampu kalian
lihat, atau cukup kalian percayai saja. Ehm, percaya? Kalian percaya? Aku tak
yakin.
Angin malam, sampaikan salamku pada jiwa-jiwa yang telah menghidupkan
kembali nurani kasih ini. Jaga mereka, Tuhan. Lindungi mereka agar selalu
mendapat payung rahmatMu. Meski dalam diam, biar kami seperti ‘amil ma’nawi
mujarrod agar tali persahabatan ini tetap kuat melekat dalam naungan ridloMu.
Robbana dlolamna anfusana
wain lam taghfirlana lanakunanna minal khosiriin..